Langsung ke konten utama

🌿 Webinar HIMMAS UT Taiwan: Suara Dari Dalam – Menyulam Luka Menjadi Karya Penuh Makna 🌿

 



🌿 Webinar HIMMAS UT Taiwan: 

Suara Dari Dalam – Menyulam Luka Menjadi Karya Penuh Makna

 🌿



Minggu, 20 Juli 2025 | Refleksi, Ekspresi, dan Harapan


Pada Minggu, 20 Juli 2025, Himpunan Mahasiswa dan Masyarakat Indonesia Universitas Terbuka (HIMMAS UT) Taiwan sukses menyelenggarakan sebuah acara inspiratif bertajuk “Suara Dari Dalam: Menyulam Luka Menjadi Karya Penuh Makna.” Webinar ini bukan sekadar forum diskusi, tetapi sebuah ruang yang hangat dan penuh empati bagi para peserta untuk merenungi luka, menemukan makna, dan merangkainya menjadi kekuatan baru dalam bentuk karya.




🌟 Tentang Webinar: Luka Bukan untuk Disembunyikan



Webinar ini hadir sebagai inisiatif untuk mengangkat isu kesehatan mental, trauma, dan pengalaman personal yang sering kali terbungkam. Mengusung semangat keberanian untuk bersuara, kegiatan ini membuka ruang refleksi yang intim—di mana luka tidak lagi dianggap sebagai kelemahan, melainkan sebagai potensi kekuatan yang bisa menginspirasi dan menggerakkan.


Melalui berbagai kisah nyata dan diskusi bermakna, peserta diajak menyadari bahwa setiap orang memiliki luka, dan tak ada yang salah dengan itu. Justru, dari pengalaman kelam itulah muncul cahaya-cahaya harapan dalam bentuk karya seni, tulisan, lagu, ataupun gerakan sosial.




👥 Kehadiran Tokoh Inspiratif



Acara ini semakin bermakna dengan kehadiran para tokoh penting yang turut mendukung dan mengapresiasi langkah HIMMAS UT Taiwan dalam mengangkat suara-suara dari dalam diri:


  • Bapak Ari Mustarinudin (Sekretaris Ormawa UT Luar Negeri)
  • Bapak Mohammad Fadhil Rasyidin Parinduri (Ketua SALUT UT Taiwan)
  • Bapak Dr. Pardamean Daulay (Direktur UT Luar Negeri)
  • Bapak Arif Sulistyo (Kepala KDEI Taipei)



Keempat tokoh tersebut memberikan sambutan hangat sekaligus refleksi mendalam atas pentingnya kesehatan mental, terutama di kalangan mahasiswa dan pekerja migran Indonesia yang berada jauh dari kampung halaman.



💬 Ruang Diskusi Penuh Empati



Sesi diskusi dan tanya jawab berlangsung dalam suasana yang sangat suportif dan penuh kepekaan. Para peserta saling berbagi pengalaman, mendengarkan dengan sepenuh hati, serta memberi semangat satu sama lain. Tidak sedikit yang menyampaikan rasa terhubung karena menemukan bahwa mereka tidak sendiri dalam perjuangannya.


Diskusi ini tidak hanya menyentuh aspek emosional, tapi juga memberikan wawasan tentang bagaimana cara menyikapi trauma, menyembuhkan diri, dan menyalurkan perasaan melalui media kreatif.




🎨 Luka yang Menjadi Karya



Salah satu nilai paling mendalam dari webinar ini adalah pengakuan bahwa dari luka bisa lahir karya yang menginspirasi. Banyak peserta yang merasa termotivasi untuk mulai menulis, menggambar, atau menciptakan sesuatu yang bermakna dari perjalanan hidup mereka sendiri.


Webinar ini bukan akhir, melainkan permulaan dari gerakan yang lebih besar—gerakan untuk terus bersuara, merawat diri, dan menciptakan ruang aman bagi siapa pun yang ingin tumbuh dari luka.




🤍 Terima Kasih dan Sampai Jumpa!



Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh peserta, narasumber, serta pihak-pihak yang telah mendukung terselenggaranya acara ini. Semoga apa yang dibagikan dalam forum ini menjadi bekal untuk terus melangkah dengan lebih kuat dan lebih bijak.


Mari terus bersuara bersama, ubah luka menjadi kekuatan, dan berkarya tanpa batas.

Sampai jumpa di kegiatan inspiratif HIMMAS UT Taiwan berikutnya!




📲 Tetap Terhubung Bersama Kami:

📸 Instagram: @himmas_utt

📘 Facebook: Himmas Utt

🎵 TikTok: @himmasuttaiwan_

📺 YouTube: Himmas UT Taiwan

BERIKUT ADALAH PEMENANG LOMBA KARYA TULIS ESSAY YANG KITA ADAKAN!!…
Juara 1
Sunyi yang Menempa Aku

Dunia kadang terasa tak adil, aku seorang ibu tunggal yang harus merantau hingga ke Taiwan, meninggalkan belahan jiwa—anak-anakku—demi memberikan mereka masa depan yang lebih cerah. Keputusan ini bukan sekadar tentang jarak geografis ribuan kilometer, melainkan tentang ketahanan mental menghadapi realitas pahit yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.

Merantau, ternyata tidak semudah yang kubayangkan. Hari-hari awal di Taiwan bagaikan mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Bahasa Mandarin yang asing di telinga membuatku merasa seperti orang bisu di tengah keramaian. Ketika ingin mengungkapkan rasa sakit, lelah, atau bahkan sekadar bertanya, kata-kata seolah tersangkut di tenggorokan. Gestur dan bahasa tubuh menjadi satu-satunya jembatan komunikasi, meski seringkali malah menimbulkan kesalahpahaman.

Adaptasi dengan budaya Taiwan juga tidak mudah. Kebiasaan makan, cara berinteraksi, tata krama, bahkan cara mengekspresikan perasaan—semuanya berbeda dengan Indonesia. Di Indonesia, aku terbiasa dengan kehangatan tetangga yang saling menyapa, gotong royong, dan solidaritas yang kuat. Di sini, individualisme lebih menonjol. Setiap orang sibuk dengan urusannya masing-masing, menciptakan jarak invisible yang sulit kubayangkan sebelumnya.

Bekerja dengan keluarga Taiwan menambah kompleksitas tersendiri. Budaya kerja mereka sangat berbeda dengan yang biasa kualami di Indonesia. Mereka memiliki standar kebersihan yang sangat tinggi, cara komunikasi yang lebih formal, dan ekspektasi yang terkadang sulit kupahami karena hambatan bahasa. Setiap hari adalah proses belajar—mulai dari cara menyiapkan makanan sesuai selera mereka, memahami rutinitas keluarga, hingga menyesuaikan diri dengan aturan-aturan tidak tertulis yang hanya bisa kupahami melalui pengalaman langsung.

Setiap detik kehidupanku dihabiskan untuk merawat seorang lansia berusia 106 tahun yang lumpuh total. Tidur nyenyak menjadi kemewahan yang tak terjangkau. Malam berganti siang, namun tubuhku tetap terjaga, siaga menghadapi tingkah laku tak terduga sang lansia yang kerap menguras emosi hingga menyentuh batas kesabaran yang bahkan aku sendiri tak pernah tahu kumiliki. Namun, di tengah kelelahan yang menghantam, satu keyakinan selalu menguat: aku berada di sini bukan untuk menyerah.

Kehidupan perantauan mengajarkanku filosofi hidup yang tak pernah kubayangkan sebelumnya—bagaimana caranya marah tanpa meledak, sedih tanpa tenggelam. Air mata mengalir dalam keheningan, namun semangat juang tak pernah padam. Aku belajar menjadikan sunyi sebagai sahabat setia, dan kesepian sebagai kekuatan yang memperkokoh mental.

Dalam setiap helaan napas, aku senantiasa mengingatkan diri untuk bersyukur. Bersyukur karena masih diberi kekuatan untuk bertahan sejauh ini, mampu menjalani hari demi hari meskipun dengan luka batin yang tak kasat mata. Bersyukur karena masih mampu mengirimkan kehidupan yang layak untuk anak-anakku di tanah air. Mereka adalah sumber kekuatan yang membuatku tetap waras di tengah badai kehidupan. Mereka adalah mercusuar dalam kegelapan yang menyelimuti.

Ketika rindu mendera, aku menatap foto mereka yang tertempel di dinding kamar sempit ini. Senyum polos mereka menjadi obat paling manjur untuk setiap rasa sakit. Setiap rupiah yang kukirim adalah bukti cinta yang tak terbatas, setiap pengorbanan adalah investasi untuk mimpi-mimpi mereka yang belum terwujud.

Perbedaan budaya dan bahasa seringkali membuatku merasa terasing di negeri orang. Ada kalanya aku salah memahami instruksi majikan karena keterbatasan bahasa, yang berujung pada kekecewaan dan frustrasi. Namun, hari demi hari, aku belajar. Kamus kecil selalu kugenggam, mencatat setiap kata baru yang kudengar. Video belajar bahasa Mandarin menjadi teman setia di waktu senggang. Meski prosesnya lambat dan menyakitkan, aku tidak menyerah.

Yang paling menantang adalah ketika aku harus menghadapi perbedaan cara pandang tentang pengasuhan lansia. Di Indonesia, merawat orang tua adalah tugas mulia yang dilakukan dengan penuh kehangatan dan sentuhan emosional. Di Taiwan, semuanya lebih sistematis dan profesional. Awalnya aku merasa kehilangan sentuhan kemanusiaan dalam pekerjaan ini, namun perlahan aku belajar menemukan keseimbangan antara profesionalisme dan empati.

Tidak jarang malam-malam kuhabiskan dengan menangis dalam diam, merindukan pelukan anak-anakku, merindukan canda tawa keluarga, merindukan kehangatan rumah. Homesick bukan sekadar kata—ia adalah rasa sakit fisik yang nyata, yang menggerogoti jiwa setiap saat. WhatsApp dan video call menjadi jendela satu-satunya untuk melihat dunia yang kutinggalkan, meski terkadang malah memperparah kerinduan.

Aku menyadari sepenuhnya bahwa dunia ini memang tidak sepenuhnya adil. Ada yang terlahir dengan segala kemudahan, sementara yang lain harus berjuang keras bahkan untuk sekadar bertahan hidup. Namun, di tengah semua kesulitan ini, rasa syukur tetap mengalir dalam hatiku. Aku bersyukur masih diberi kekuatan untuk bertahan sejauh ini, mampu beradaptasi meski dengan cara yang menyakitkan, dan tetap sanggup mengirimkan harapan untuk anak-anakku.

Syukur karena meski bahasa menjadi penghalang, ketulusan dalam bekerja tetap bisa dirasakan oleh majikan. Syukur karena meski budaya berbeda, rasa hormat terhadap sesama tetap bisa terjalin. Syukur karena meski jauh dari rumah, teknologi memungkinkan aku tetap terhubung dengan orang-orang tercinta. Syukur karena setiap tetes keringat yang kucurahkan di negeri orang memiliki makna—memberikan kehidupan yang lebih baik untuk masa depan anak-anakku.

Aku juga yakin bahwa aku tidak sendirian dalam perjuangan ini. Ada ribuan PMI lainnya yang mengalami hal serupa, berjuang dengan cara mereka masing-masing. Aku memiliki harapan yang menggelora, cinta yang tulus, dan tekad yang tak pernah surut. Karena itulah aku masih berdiri tegak di sini, melangkah dengan pasti, dan terus berjuang dengan segenap jiwa raga.

Mungkin aku tidak sempurna sebagai seorang ibu yang harus berjauhan dengan anak-anaknya. Mungkin ada banyak kesalahan dalam perjalanan hidupku. Namun satu hal yang pasti—aku tidak akan pernah berhenti. Sunyi telah menjadi guru terbaik yang mengajarkanku arti sesungguhnya dari kekuatan, ketabahan, dan cinta tanpa batas.

 

 


 




 

Biodata Penulis

Nama: Nidhya Sukma
Asal: Indonesia
Usia: 37 tahun
Pekerjaan: Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Taiwan dan Mahasiswi Universitas Terbuka
Latar belakang: Seorang ibu tunggal yang sedang berjuang di negeri rantau demi masa depan anak-anaknya. Saat ini aktif bekerja sebagai perawat lansia di Taiwan sambil menjalani pendidikan manajemen secara daring, membuktikan bahwa keterbatasan bukan penghalang untuk terus belajar dan berkembang.

Juara 2

SEDIH YANG TAK SEMPAT KUTANGISI

oleh Nola Anindia

    Seperti pilu di sudut tunggu, mengapa kaki masih juga menapak pada pusaran roda yang
tak berhenti mencetak beban. Aku menyeberang ke pulau asing, demi harapan kecil yang
disematkan Ibu pada jemari yang terisi doa. Mungkin aku sudah lupa rasanya bahagia. Tapi
aku percaya jika sedih bukan akhir dari cerita.
Setahun lalu aku pernah memaki Tuhan. “Mengapa aku diciptakan?”
Sebab kepalaku di penuhi beban ketakutan dan tubuhku seakan berhenti berjalan, tapi
jiwaku mati tertinggal. Sementara rindu rumah tak bisa aku tebus.
“Aku berjalan di negeri asing, berharap mimpi mengitari, membiarkan mereka
bergantung di antara ranting-ranting.”
Kalimat itu kutulis di malam-malam penuh kekhawatiran akan masa depan. Aku
menjadikan tulisan bukan hanya sebagai pelarian, tapi sebagai caraku untuk bertahan.
Aku terus menjaga sadar, tak habis-habis doa di ujung sajadah panjang, berharap masih
ada waras di sisa-sisa tangisku yang hampir deras.
“Jangan dulu mati,” kataku waktu itu. Maka aku memilih hidup sekali lagi. Menikmati
mi instan di Seven Eleven atau menaiki bis yang aku sendiri tak tahu ke mana, sambil
menahan tangis di tenggorokan yang bahkan tak sempat aku rayakan. Aku belum ingin
pulang.
Sebab hidupku masih panjang, mimpi-mimpiku masih cemerlang meski harus berkorban
dengan tubuh yang hampir usang. Aku mulai rindu pada hidup yang dulu tak kusyukuri.
Sekarang aku di sini, mengembara jauh penuh ekspektasi. Dunia terasa tak adil sebentar, lalu
aku sadar. “Duniaku mungkin cita-cita seseorang di luar.”
Kini aku tak lagi bertanya-tanya mengapa aku hidup di dunia. Aku tak lagi menangisi
sedih, memaafkan luka yang justru mengajakku untuk tumbuh. Aku mulai membuang ragu
yang dulu menggerogoti bahu, menerima hidup yang tak selalu bertemu kupu-kupu. Aku si
ulat yang sedang berproses, perlahan-lahan meski tak secepat ulat lain.
Walau sedih dan pahit menyelimuti, aku tetap berdiri, membentangkan asa di tengah
reruntuhan, dan berani berharap pada hari-hari yang lebih hangat.
Menanamkan bahagia di antara remuk, percaya dunia tak selalu mengutuk. Tak
mengapa belum menjadi apa-apa, tak mengapa jika getir masih terasa, tak mengapa jika badai
belum juga reda.
Yang paling penting, tawa masih tertinggal di sana.








      TENTANG PENULIS
Aku Nola Anindia, 24 tahun, kuliah dan bekerja di Taiwan sejak 2018. Lulus S1 Bisnis
lalu lanjut S2 Leisure, selesai tahun 2024 kemarin. Sastra sudah jadi teman sejak kecil. Aku
menulis puisi dan novel di Wattpad (@nola_anka). Tahun ini, ada kabar bahagia. Kumpulan
puisiku yang pertama berjudul Segala Yang Tak Bisa Kuteriakkan akan terbit, berkat event
penerbitan gratis dari Jejak Publisher yang diam-diam aku ikuti, dan ternyata menang.
Menulis untukku bukan sekadar hobi, tapi cara merayakan sedih, berbagi bahagia, atau
sekadar membebaskan hal-hal yang menggantung di kepala. Semoga, lewat kata-kata, aku
bisa terus terhubung dengan banyak hati di luar sana.



Juara favorit 

Aku Belajar Pulang


Usiaku dua puluh empat. Banyak orang di usia ini sudah tahu ke mana harus pulang. Sementara
aku? Masih berjalan pelan, memunguti serpihan makna dari jejak masa lalu yang tak pernah
benar-benar ramah.
Aku tidak tumbuh dalam pelukan. Sejak kecil, aku merasa seperti tamu di rumah sendiri, duduk
diam di antara orang-orang yang kusebut keluarga, tapi tak pernah merasa dimiliki. Aku
tumbuh seperti rumput liar, tak ditanam, tapi tetap hidup meski tak disiram.
Ada rahasia yang dulu hanya berbisik di belakangku, hingga suatu hari ayah mengatakannya:
aku bukan darah mereka. Ternyata, hati kecilku sudah tahu lebih dulu.
Sejak itu, semuanya menjadi masuk akal. Jarak yang dingin. Tatapan yang kosong. Tidak ada
pelukan, tidak ada pertanyaan, tidak ada usaha. Hanya kehadiran fisik tanpa kehangatan. Aku
belajar berjalan sendiri, belajar tidak berharap dan tidak marah. Hanya diam.
Ayah—yang dulu menjadi satu-satunya cahaya dalam hidupku, perlahan pun meredup.
Hubungan kami berubah. Cintanya berganti tuntutan, kepercayaanku berubah menjadi luka.
Mereka menuntut hasil dari ladang yang tak pernah mereka rawat.
Mereka berharap banyak dariku, seolah aku tumbuh dengan kehangatan. Apa mereka lupa
bahwa aku tumbuh dalam kesepian, tanpa dukungan dan pelukan. Tak ada pegangan— hanya
aku dan keinginan untuk tetap hidup.
Marahku tak pernah meledak. Sedihku tak pernah tenggelam. Semuanya tertahan dalam dada,
seperti luka yang bernapas pelan tapi tak pernah benar-benar sembuh.
Aku pergi. Bukan karena berani, tapi karena tak ada alasan untuk tinggal. Dari kota ke kota,
hingga negeri asing bernama Taiwan, aku mencari arti rumah. Tapi setiap kutanya cermin,
jawabannya hanya sunyi.
Entah berapa lama lagi aku akan sampai. Tapi kini aku tidak lagi takut berjalan, karena aku
tahu tempatku pulang bukan di luar sana, tapi di dalam diriku sendiri. Bukan yang remuk, tapi
yang utuh. Dan di titik itu aku akan sadar bahwa aku tak pernah benar-benar sendiri.










Biodata
Nama saya Nirmala Siregar, lahir pada 14 September 2001, dan saat ini merupakan mahasiswa
semester satu Ilmu Komunikasi di Universitas Terbuka Taiwan. Sejak kecil, ketika tak ada
tempat untuk mengadu, saya menulis. Tulisan menjadi ruang aman saat dunia terasa terlalu
sunyi atau terlalu bising. Bagi saya, menulis bukan hanya ekspresi, tapi juga bentuk perawatan
batin. Cerita ini lahir dari pengalaman pribadi tentang luka, kehilangan, dan pencarian makna
hidup. Saya percaya, menjaga kesehatan mental bukan soal menjadi kuat, tapi soal memberi
ruang bagi diri untuk merasa, merawat, dan perlahan pulih—sekalipun dunia terus berjalan
tanpa menunggu kesiapan kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kegiatan UAS Mahasiswa Universitas Terbuka di Taiwan

  Universitas Terbuka (UT) adalah Perguruan Tinggi Negeri ke-45 yang didirikan di Indonesia pada tanggal 4 September 1984, dengan sistem pembelajarannya menggunakan metode terbuka dan jarak jauh / unit program belajar jarak jauh Universitas Terbuka (UPBJJ-LLN). Sistem belajar ini terbukti sangat efektif untuk meningkatkan daya jangkau dan pemerataan kesempatan pendidikan tinggi yang berkualitas bagi semua warga negara Indonesia. 

Pelantikan Ketua BEM UT-Taiwan periode 2016/2017

      Foto penyerahan jabatan BEM      Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) adalah suatu organisasi kemahasiswaan dibawah naungan Universitas Terbuka Taiwan (UT-Taiwan) yang berperan aktif menghimpun segenap mahasiswa-nya dalam segala kegiatan yang diadakan di UT-Taiwan. Organisasi BEM didirikan pada tanggal 24 Maret 2013 di Taipei, Taiwan.